Balada San Aini
Oleh: Bahren

Publisher Vol/fit Opini
27 Sep 2023, 12:46:53 WIB

VokalOnline.Com - Kawan, kau boleh percaya boleh tidak. Jika kisah yang segera kugubah ini mungkin saja pernah terjadi, bahkan pada dirimu atau mungkin para tetangga mu. Kisah yang mungkin bagi sebagian orang hanya dianggap sebagai sebuah cerita dongeng pengantar tidur bagi kanak-kana yang akan dinina bobokkan oleh emaknya. Bisa jadi bagi sebagi lagi hanya dianggap sebagai kisah yang berisi berita-berita bohong dan tidak memiliki kebenaran. Namun, apapun itu kawan, ini mesti ku ceritakan, mesti ku kabarkan kepada mu. Bak kata-kata para pekaba dan pedendang “Kabar orang kami kabarkan tuan, dusta oran kami tak serta.”

 

Bermula kisah ini kuterima, kejadiannya sekitar akhir abad 19, tepatnya 3 tahun menjelang abad 20. Masa itu adalah masa-masa sulit ketika Pak de Toto mulai dipertanyakan soal panjangnya masa kepemimpinan beliau. Berbagai macam gejolak terjadi di berbagai daerah. Kerusuhan masalah pribumi dan non pribumi menjadi pemberitaan media massa cetak dan televisi waktu itu. Hingga akhirnya pecah demo besar-besaran yang menginginkan pergantian kekuasaan dan dimulainya era baru yang mereka sebut sebagai reformasi.

 

Namun, bagi Ku itu hanya ku jadikan sebagain kecil dari berjilid-jilid kisah yang akan Ku sampaikan dalam balada ini. Aku yakin ini lebih rumit dari sekedar pengalihan kekuasaan dan penggantian orde. Kisah tentang San dan Aini yang kejadiannya beriringan dengan kisah pergantian orde itu dan masih berlanjut hingga saat ini.  Begini, San sebenarnya adalah abang kandung dari sahabat ku Aini. Aini berkisah kepada Ku bahwa saat ini San telah menjadi orang hebat dan terpandang, bahkan San pernah menjadi  orang nomor satu di sebuah Fakultas dari Kampus ternama di luar Jawa dan tertua di pulau Perca.

 

Nama dan jabatan mentereng itu membuat San mulai berubah dan berulah. San mulai pongah. Segala ilmu dan kepandaiannya dijadikan alat olehnya untuk menebar pesona kian kemari, termasuk dalam hal mencari istri. Walau ia telah beristri saat ini, San masih saja ingin menambah koleksi istrinya, padahal sebagai seorang petugas negara tentu saja ia terikat dengan cara dan aturan yang berlaku, Namun itu tak dijadikan sbagai alasan olehnya. San tetap saja menebar pesona dengan ilmu dan kepandaiannya hingga akhirnya terjerat lah Ummi olehnya.

 

Tidak hanya itu kawan, Aini juga berkisah kepada ku waktu itu. Melalui pesan singkat wattapps Aini bercerita dan kembali mengingatkan Ku kejadian waktu 3 tahun menjelang akir abad 19 itu. Saat San, tidak hanya brmasalah dengan istrinya, San sebagai Abang tega tidak mengakui Aini sebagai adiknya. San mengaku ke banyak orang bahwa Ia aalah anak tunggal dari keluarganya. Ia adalah satu-satunya pewaris segala harta dan kekayaan orang taunya. San juga lah yang kelak akan mewariskan tahta gelar adat sebagai seorang Dauk dari mamak nya.

 

Aini pun terhenyak mendengar ucapan San waktu itu, sebagai seorang Abang, San sungguh tega menghilangkan nama-nama adiknya dari kartu keluarga. Entah dengan siapa dan bagaimana Ia mengerjakannya hingga bisa berbuat begitu. Aini memang mengakui bahwa San selalu mengkait-kaitkan segakanya dengan hukum dan undang-undang. Jika saja terjadi msalah dalam keluarga kami, San slalu saja menggunaka hukum positif untuk menakutik kami, San tidak akan segan-segan melaporkan Kami sebagai adiknya ke aparat penegak hukum untuk memuluskan jalannya. Termasuk menghilangkan kami dari daftar kartu keluarga.

 

Aini dengan berurai air mata juga berkisah, bagaimana Ia, dan adiknya terlunta-lunta setelah di usir dari Rumah Gadangnya yang seharusnya sebagai seorang perempuan Minangkabau, Aini dan adik lah yang patut untuk mewarisi dan menempati rumah itu. Namun, San dengan segala peraturan dan undang-undang yang dibacakannya berhasil mengeluarkan Aini dari Rumah Gadang.

 

Puncaknya ketika San dinobatkan sebagai Datuk di Kampung Aini. Kampung yang beberapa tahun lagi menjadi sebuah kota baru di dengan segala kemegahan serta sarana dan prasarana penunjangnya. Di Kota itu nantinya akan dibangun kampus-kampus ternama di Pulau Perca ini. Lebih dari 600 hektar lahan telah disediakan untuk empat kampus ternama itu, dan San mnjadi salah seorang Datuk yang akan menduduki posisi penting dari kota baru itu nantinya.

 

San Lupa, bahwa tanah itu memang tanah nenek moyangnya, tapi bukan untuak dia sendiri, di tanah yang telah dijual dan diberikannya ke penguasa san demi kekuasaan itu ada hak-hak adik dan orang-orang kampungnya. San lupa bahwa sebagai seorang Datuk, dalam mamangan adat Minangkabau Ia hanya ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah. Bukan berarti San bisa berbuat sesuka hatinya dengan bantuan undang-undang yang selalu dijadikannya sebagai dasar dan pijakan.

 

San menjadi alpa dengan segala kekhasan dan kearifan budayanya sendiri, bahkan dia yang juga sering mengganggap dirinya seorang budayawan tidak menerapkan alur dan patut dalam tindakannya. Mamangan adat sepertinya hanya dijadikan sebagai jualan olehnya, petuah dan petatah petitih budayanya dianggap laksana syair-syair lama yang tidak relevan lagi olehnya. San menjadi angkuh dan sombong dengan segala dalih dan pasal-pasal yang dimilikinya.

 

San beranggapan bahwa yang dilakukannya terhadap Aini pun telah direstui oleh tuhan. Ia menganggap bahwa restu Tuhan itu wujud dalam hidupnya yang aman-aman saja. Dengan empat anak dan seorang istri yang cantik. Namun, San lupa bahwa Tuhan juga mulai mengingatkannya dengan cara yang berbeda yang San sendiri mungkin tidak menyadarinya.

 

Tentang Penulis: Bahren

                              Dosen Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

                              Mulai menulis sejak masih mahasiswa di Program Studi yang sama.

Berita Terkait :




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment